Pusat Penjualan Genteng Murah di Blitar
Sabtu, 25 Juni 2016
Selasa, 16 April 2013
Dampak Pariwisata Terhadap Upacara Tradisional Pada Masyarakat Batak Toba
Pariwisata
Etnik:
Dampak Pariwisata Terhadap Upacara
Tradisional Pada Masyarakat Batak Toba
Karakteristik
yang menjadi ciri dari pariwisata etnik adalah pariwisata di mana keeksotisan
dari etnik yang dicari. Atau dengan kata lain bahwa atraksi utamanya adalah
penduduknya. Yang lebih penting lagi bahwa dalam pariwisata etnik, si
“penduduk” tidak hanya berada di tempat untuk melayani kebutuhan si turis,
tetapi dia sendiri menjadi bagian dari pertunjukan, tontonan hidup yang diamati
sedemikian rupa, difoto, direkam, dan diinteraksikan dalam berbagai cara yang
tertentu (keyes dan Van De Berghe1984:345).
Pariwisata
di Indonesia: Kasus di Batak Toba
Di
Indonesia, industri pariwisata merupakan salah satu pusat perhatian pemerintah
yang diharapkan dapat dijadikan salah satu aspek usaha peningkatan devisa
Negara. Keragaman budaya nusantara merupakan potensi yang utama dalam menarik
perhatian para pengunjung. Sejak masa Orde baru 1966, pariwisata mulai mendapat
perhatian intensif dengan dimasukannya dalam agenda program peningkatan dan
pengembangan ekonomi Indonesia. Tujuannya adalah untuk menyebarluaskan
kesempatan kerja bagi masyarakat Indonesia dan memperkenalkan kebudayaan etnik
Indonesia ke dunia luar (Pendit 1984;64).
Setelah
kemerdekaan Indonesia, daerah Batak terus menjadi tempat yang penting untuk
pariwisata. Pulau Samosir yang dikelilingi oleh Danau Toba merupakan tempat
yang strategis untuk tempat pariwisata. Di daerah ini terdapat beberapa tempat
yang secara historis sangat penting dan dipercaya sebagai asal-usul kebudayaan
Batak Toba, termasuk juga terdapat elemen-elemen bersejarah yang masih ada,
seperti bangunan-bangunan rumah tradisional, kerajinan tangan, tenunan, dan
juga musik tradisional. Kegiatan pariwisata tersebut memberi dampak bagi
masyarakatnya. Salah satu contoh dampak pariwisata terhadap kehidupan serta
kebudayaan Batak Toba adalah pariwisata mendorong orang Batak untuk memikirkan
kebudayaan mereka dan juga situasi ekonomi mereka, ketertarikan dari para turis
terhadap masa lalumereka (orang Batak) telah menyebabkan generasi muda kembali
ke kebudayaan lama mereka.
Kegiatan
Pesta Danau Toba tahunan dilakukan untuk menarik turis mancanegara maupun turis
nusantara. Selain itu, tujuan diadakannya kegiatan ini adalah untuk merangsang
ide-ide terhadap tradisi budaya dari keenam subetnik yang berada di sekitar
wilayah Danau Toba. Akhir-akhir ini, berbagai atraksi pariwisata telah
digalakkan untuk mengembangkan suatu daerah untuk menjadi daerah tujuan
pariwisata. Kegiatan-kegiatan olah raga yang bersifat rekreatif maupun
kompetitif, peragaan busana tradisional, dan pameran kerajinan tangan, termasuk
didalamnya pertunjukan budaya dari dari kelomok-kelompok etnik di luar Sumatra
Utara, misalnya Minangkabau dan Aceh, serta pertunjukan musik popular Indonesia
yang mayoritas diisi oleh artis-artis ibukota, juga merupakan bagian dari seni
pertunjukan yang ditampilkan.
Usaha
untuk mempromosikan upacara-upacara maupun ritual-ritual yang berkaitan dengan
kepercayaan asli Batak sebagai bagian dari atraksi pariwisata dalam dua dekade
terakhir ini mulai memprihatinkan. Akan tetapi, upacara-upacara yang
ditampilkan tidak utuh. Misalnya, di Museum Huta Bolon, sejak tahun 1980-an
ditampilkan pertunjukan singkat dalam satu paket pertunjukan pariwisata yang
menampilkan satu cuplikan bagian penyembelihan hewan korban kerbau yang
diiringi dengan musik dan tari yang diambil dari rangkaian ritual Mangalahat Horbo (mengorbankan kerbau).
Akan tetapi Mangalahat Horbo Lae-lae atau Gondang Mandudu yang dilakukan didesa
Limbong di pulau Samosir kali ini adalah usaha yang pertama dalam menampilkan
satu rangkaian religious tradisional Batak Toba yang utuh sebagai bagian dari
atraksi pariwisata.
Mangalahat
Horbo Lae-Lae dan Gondang Madudu : Latar Belakang Kesejarahannya
Pada
era pra-Kristen, aktivitas ritual maupun upacara yang terdapat pada masyarakat
Batak Toba selalu terkait dengan kepercayaan asli mereka (Okazaki, 1994).
Walaupun sejak tahun 1860-an sebagian orang Batak telah menganut agama Kristen,
banyak dari warga Kristen Batak yang tetap melaksanakan ritual-ritual yang
masih terkait erat dengan kepercayaan tradisional mereka. Khusus di pulau
Samosir, terdapat beberapa ritual dan upacara tua yang masih terus
dilaksanakan. Tetapi, Pihak gereja menyebabkan banyak unsur dan makna
tradisional dari upacara-upacara itu disederhanakan dan dihilangkan.
Manglahat Horbo Lae-Lae adalah upacara
penyembelihan binatang yang sangat erat hubungannya dengan kepercayaan asli
Batak Danau Toba. Upacara ini adalah upacara penyembelihan kerbau untuk
persembahan kepada roh-roh gaib yang dilakukan oleh komunitas kelompok dalam
satu kampung, atau satu kelompok keluarga tertentu, biasanya dilaksanakan dalam
beberapa hari.
Hal
yang pertama sekali dilakukan dalam aktivitas upacara pada penyembelihan kerbau
ini adalah Mangelek Namartua Pusuk Buhit,
yang artinya meminta izin ataupun restu dari supernatural yang tinggi, Mula Jadi Nabolon (asal mula yang
agung), dan roh-roh gaib yang bermukim di sekitar puncak pusuk buhit. Orang
Batak Toba meyakini bahwa Pusuk Buhit adalah tempat kelahiran dari nenek-moyang
mereka yang pertama. Banyak diantara mereka menganggap bahwa Pusuk Buhit adalah
tempat berdiamnya Sombaon (roh-roh
yang menguasai tempat tertentu).
Setelah
kerbau dibunuh, masyarakat yang hadir kembali kerumah masing-masing
meninggalkan kerbau yang dikorbankan dibawah penjagaan sekelompok orang yang
bertugas sepanjang malam. Masyarakat Batak Toba percaya bahwa roh-roh gaib yang
mereka panggil akan menikmati kerbau itu sepanjang malam, sebelum kerbau itu
dibagikan kepada seluruh masyarakat.
Pariwisata
Etnik : Manglahat Horbo Lae-Lae dalam konteks pariwisata
Pelaksanaan
upacara Manglahat Horbo Lae-Lae untuk
atraksi pariwisata, dengan hadirnya beberapa turis sebagai penonton dan
perwakilan pemerintah sebagai bagian dari tuan rumah, telah mengalami beberapa
perubahan, terutama dalam struktur upacara, makna, serta kebiasaan-kebiasaan
lain dari upacara konteks tradisi.
Peranan
Mediator : Elaborasi Mitos
Upacara
pengorbanan kerbau untuk atraksi turis ini di sponsori oleh PT (Perseroan
Terbatas) Pahuta Danau Toba. PT Pahuta Danau Toba merupakan sebuah yayasan yang
terdiri dari orang-orang Batak yang menduduki jabatan pemerintah yang cukup
penting di Sumatra Utara. PT Pahuta Danau Toba ini bertujuan untuk mengelola
potensi daerah yang meliputi Danau Toba dan sekitarnya, untuk dikembangkan
menjadi daerah tujuan wisata yang representatif. Fokus utama dari kegiatan ini
adalah menggali, melestarikan, dan mengembangkan seni dan budaya tradisional
Batak Toba.
Perubahan
Struktur dan Jalannya Upacara
Dalam menampilkan upacara Manglahat Horbo Lae-Lae ini, mayarakat Batak Toba yang terlibat
telah mengubah upacara tersebut menjadi semacam pertunjukan teateral. Yang
menjadi atraksi utamanya adalah masyarakat Limbong yang sedang melaksanakan
upacara tradisional mereka. Ini adalah salah satu dari pariwisata etnik.
Masyarakat local setempat menjadi bagian penting dalam acara yang bersifat
eksotis dan otentik. Karakteristik teaterial ini terutama terlihat pada acara Gondang Mandudu di malam hari dan
upacara penyembelihan kerbau, yang kerap dihadiri turis maupun perwakilan
pemerintah. Ada pemisah yang jelas antara penonton (turis dalam maupun luar
negeri) dan pemerintah, pendukung upacara/para pemain, dan penduduk desa
Limbong yang terlibat dalam upacaranya.
Selama
persiapan dan penentuan waktu pertunjukan, kelihatan ada konflik dalam kelompok
orang-orang yang terlibat. Menurut sebuah sumber dari PT Pahut, pada mulanya,
rencana pertunjukan itu ditolak oleh otoritas gereja di wilayah Limbong. PT Pahuta
terpaksa bernegosiasi berulang kali dengan pihak gereja dan masyarakat desa dan
masyarakat desa di sana. Dengan menekankan ide pentingnya mempromosikan daerah
tujuan wisata dan mempertunjukan kebudayaan Batak, upacara tersebut akhirnya
diizinkan untuk dilaksanakan.
Berhubungan
upacara ini dilaksanakan di desa Limbong, terkait juga maksud unttuk
mendapatkan berkat bagi wilayah desa dan sekitarnya. Didalam proses pelaksanaan
upacara, ada beberapa bagian yang berubah dengan asumsi bahwa bagian tersebut
kurang menarik bagi pengunjung. Sebagai contoh, dalam bagian ritual Gondang Mandudu. Berbagai repertoar
music yang seharusnya dilaksanakan di dalam gelap direncanakan untuk tidak
dipertunjukan tanpa penerangan. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan
konteks makna yang seharusnya dilasanakan. Akibatnya, timbul perdebatan antara
panitia pertunjukan dengan orang-orang desa mengenai cara menampilkan bagian ini.
Akhirnya diputuskan bahwa ritual tersebut tetap dilaksanakan dalam gelap,
dengan catatan bahwa durasi waktu ritual dipersingkat demi kenyamanan para
pengunjung atau penonton.
Perubahan
lainnya berkaitan dengan sekuens pertunjukan. Bagian dari acara Monortor Hasuhutan (monortor/menari yang dilakukan oleh tuan rumah) yang seharusnya
dilakukan setelah Gondang Mandudu,
diganti dengan acara pertunjukan Opera Batak yang merupakan bentuk dari
pertunjukan teater keliling yang terdapat pada masyarakat Batak Toba. Hal ini
sejalan dengan yang ditawarkan dalam proposal panitia kepada pemerintah.
Perubahan
juga terjadi pada acara klimaks, yaitu penyembelihan/pengorbanan kerbau. Pamantom (penombak) semestinya membunuh
kerbau persembahan tersebut. Dalam konteks tradisionalnya, bahkan kerbau di
tombak sampai mati dengan kejam (Sinaga, 1981). Akan tetapi, Pemantom tidak lagi menombak si kerbau
sampai mati, melainkan hanya menombaknya tiga kali. Si Pemantom kelihatannya lebih memfokuskan pada tariannya ketika
melakukan penombakan. Ini tampaknya dilakukan untuk menghindari ciri orang
Batak yang kasar dan bahkan kanibal seperti yang digambarkan orang (Sibeth,
1990).
Identitas
Etnis, Kultural, dan Religius Orang Batak di dalam Konteks Kebudayaan
Indonesia.
Sepanjang upacara, orang Batak Toba menampilkan
identitas etnis dan budaya Batak sebagai satu kesatuan dalam konteks keaneka ragaman
etnik budaya dan masyarakat Indonesia. Konsep ini tergambar dari doa-doa dan
penjelasan-penjelasan yang disampaikan oleh pembawa acara sepanjang jalannya
upacara. Di dalam doa-doa dan pembicaraannya, dia mengulang beberapa kali
maksud upacara untuk menampilkan budaya dari etnik Batak sebagai bagian dari
bangsa Indonesia.
Secara tidak langsung pembawa acara telah
mengindikasikan bahwa orang Batak Toba yang terlibat dalam upacara,
berkeinginan untuk menyatukan kembali subetnik-etnik di bawah identitas etnik
Batak. Mereka juga menekankan ide untuk mengetengahkan identitas budaya Batak
Toba kedalam konteks identitas kompleks masyarakat Indonesia. Dari sini dapat
dilihat bahwa orang Batak Toba berkeinginan untuk menyatukan subetnik dengan
berlandaskan bhineka tunggal ika.
ANALISIS :
Pariwisata, telah membantu menghadirkan
kembali kebudayaan tradisional Batak Toba, khususnya dalam konteks upacara Manglahat Horbo Lae-Lae yang
dilaksanakan di desa Limbong Samosir, Sumatra Utara. Sebelum adanya pertunjukan
ini, masyarakat Batak Toba telah
dilarang (khususnya oleh misionaris Kristen) untuk mengadakan berbagai upacara,
terlebih yang terkait erat dengan kepercayaan tradisional mereka. Pertunjukan
budaya ini memberikan alternative bagi
usaha melihat kembali potensi budaya lokal Batak Toba.
Berbagai pendapat dari pihak pemerintah,
pihak gereja, maupun masyarakat Batak Toba dalam memandang kembali berbagai
konsep budaya yag ada, kadang-kadang justru menghadirkan hal-hal yang tidak
dijumpai atau bertentangan dengan kebiasaan upacara, sekaligus mengurangi
esensi religius yang ada.
Adanya perbedaan kepentingan antara
pemerintah dengan masyarakat Batak Toba, hal itu mempengaruhi sikap dan
penilaian terhadap upacara yang akan disajikan. Pemerintah berkepentingan untuk
menstimulasi kegiatan dari upacara tradisional, tidak hanya untuk kepentingan
pariwisata, tetapi juga sebagai upaya melestarikan dan mengembangkan budaya
yang merupakan salah satu asset budaya nasional bangsa Indonesia. Sedangkan
masyarakat Batak Toba sendiri adalah usaha untuk menghadirkan identitas budaya
mereka sebagai salah satu ragam dari kebudayaan nasional Indonesia. Usaha
tersebut merupakan salah satu program pelestarian dan pengembangan kebudayaan
yang memang telah digariskan dalam kebijaksanaan pemerintah Indonesia.
Semakin kompleksnya kebudayaan suatu daerah,
semakin berkembang pula budaya itu. Di tengah-tengah situasi seperti ini,
tradisi dan hubungan antar etnis akan terus mengalami proses perubahan. Budaya
mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Kaidah sebagai bagian kebudayaan mencakup
tujuan kebudayaan, maupun cara-cara yang dianggap baik untuk mencapai tujuan
tersebut. Kaidah-kaidah kebudayaan tersebut mencakup peraturan-peraturan yang
beraneka ragam. Akan tetapi, untuk kepentingan masyarakat, secara sosiologis
dapat dibatasi dengan empat hal, yaitu:
1.
Kaidah-kaidah
yang dipergunakan secara luas dalam suatu kelompok manusia tertentu;
2.
Kekuasaan yang
memperlakukan kaidah-kaidah tersebut;
3.
Unsur-unsur
formal kaidah itu;
4.
Hubungannya
dengan ketentuan-ketentuan hidup lainnya (Soerjono, 2010).
Di dalam pengalaman manusia, kebudayaan
itu bersifat universal, stabil di samping juga dinamis dan setiap kebudayaan
mengalami perubahan-perubahan yang berkelanjutan. Kebudayaan mengisi serta
menentukan jalannya kehidupan manusia, walaupun hal itu jarang disadari oleh
manusia itu sendiri.
Langganan:
Komentar (Atom)






