Efek Blog

Sabtu, 25 Juni 2016

Harga genteng mantili dan Karang Pilang murah asli Blitar

Harga genteng mantili dan Karang Pilang murah asli Blitar

Harga genteng mantilidan Karang Pilang murah asli Blitar terbaru. Pengusaha genteng mantili dan Karang Pilang murah asli Blitar ini yaitu pak Sukani (Gandik) - 085755261949Genteng mantili dan Karang Pilang murah ini asli produksi sentral industri pengrajin genteng di Bendosewu kabupaten Blitar, sudah terkenal kualitasnya sejak dulu. Meskipun harga genteng tanah liat genteng mantili dan Karang Pilang termasuk murah, tapi kualitasnya bisa diandalkan dan sudah teruji. Sudah banyak yang mempercayakan penggunaan atap genteng rumahnya menggunakan genteng produksi pak Sukani (Gandik) di berbagai daerah Malang, Blitar, dan Kediri. Proses pembuatan genteng press di Desa Bendosewu melalui tahap-tahap sederhana yang dimulai dengan penggalian bahan baku tanah liat, Penggilingan (Molen), Pencetakan Genteng Press, Penjemuran Genteng, Pengisisan genteng di pembakaran, Pembakaran Genteng.
Saat ini, harga genteng yang murah masih menjadi pertimbangan tersendiri bagi sebagian orang dalam menentukan pilihan untuk membeli genteng buat atap rumahnya, oleh karena itu kami berusaha menekan biaya operasional yang bisa membuat produk genteng mantili dan Karang Pilang yang murah harganya, yang tidak memberatkan pelanggan.
Dibawah ini kami tampilkan berbagai macam gambar jenis genteng mantili dan Karang Pilang murah asli Blitar:

Mantili


Harga genteng mantili @ Rp 1750
panjang genteng : 34 cm
lebar genteng : 24 cm
jarak reng : 27 cm


Karang Pilang


Harga genteng karang pilang @ Rp 1600
panjang genteng : 29 cm
lebar genteng : 22 cm
jarak reng : 24 cm

Harga genteng slumpri @ Rp 3500
Melalui 3x proses penggilingan
Panjang genteng : 32 cm
Lebar genteng : 32 cm
Jarak reng : 27


Harga genteng fosano @ Rp 5000
Melalui 3x proses penggilingan
Panjang genteng : 32 cm
Lebar genteng : 32 cm
Jarak reng : 27

Untuk pemesanan genteng mantili dan karang pilang produksi Pak Sukani (Gandik)-Bendosewu - Blitar silahkan datang langsung ke alamat Dsn. Bendorejo Rt.01 Rw.02 Ds. Bendosewu Kec. Talun Kab. Blitar atau menghubungi nomor 0857-5526-1949 , WA/ Line : 0857-5561-6324 invite pin BB : D969CFB7.


Selasa, 16 April 2013

Dampak Pariwisata Terhadap Upacara Tradisional Pada Masyarakat Batak Toba


Pariwisata Etnik:
Dampak Pariwisata Terhadap Upacara  Tradisional Pada Masyarakat Batak Toba

            Karakteristik yang menjadi ciri dari pariwisata etnik adalah pariwisata di mana keeksotisan dari etnik yang dicari. Atau dengan kata lain bahwa atraksi utamanya adalah penduduknya. Yang lebih penting lagi bahwa dalam pariwisata etnik, si “penduduk” tidak hanya berada di tempat untuk melayani kebutuhan si turis, tetapi dia sendiri menjadi bagian dari pertunjukan, tontonan hidup yang diamati sedemikian rupa, difoto, direkam, dan diinteraksikan dalam berbagai cara yang tertentu (keyes dan Van De Berghe1984:345).
            Pariwisata di Indonesia: Kasus di Batak Toba
            Di Indonesia, industri pariwisata merupakan salah satu pusat perhatian pemerintah yang diharapkan dapat dijadikan salah satu aspek usaha peningkatan devisa Negara. Keragaman budaya nusantara merupakan potensi yang utama dalam menarik perhatian para pengunjung. Sejak masa Orde baru 1966, pariwisata mulai mendapat perhatian intensif dengan dimasukannya dalam agenda program peningkatan dan pengembangan ekonomi Indonesia. Tujuannya adalah untuk menyebarluaskan kesempatan kerja bagi masyarakat Indonesia dan memperkenalkan kebudayaan etnik Indonesia ke dunia luar (Pendit 1984;64).
            Setelah kemerdekaan Indonesia, daerah Batak terus menjadi tempat yang penting untuk pariwisata. Pulau Samosir yang dikelilingi oleh Danau Toba merupakan tempat yang strategis untuk tempat pariwisata. Di daerah ini terdapat beberapa tempat yang secara historis sangat penting dan dipercaya sebagai asal-usul kebudayaan Batak Toba, termasuk juga terdapat elemen-elemen bersejarah yang masih ada, seperti bangunan-bangunan rumah tradisional, kerajinan tangan, tenunan, dan juga musik tradisional. Kegiatan pariwisata tersebut memberi dampak bagi masyarakatnya. Salah satu contoh dampak pariwisata terhadap kehidupan serta kebudayaan Batak Toba adalah pariwisata mendorong orang Batak untuk memikirkan kebudayaan mereka dan juga situasi ekonomi mereka, ketertarikan dari para turis terhadap masa lalumereka (orang Batak) telah menyebabkan generasi muda kembali ke kebudayaan lama mereka.
            Kegiatan Pesta Danau Toba tahunan dilakukan untuk menarik turis mancanegara maupun turis nusantara. Selain itu, tujuan diadakannya kegiatan ini adalah untuk merangsang ide-ide terhadap tradisi budaya dari keenam subetnik yang berada di sekitar wilayah Danau Toba. Akhir-akhir ini, berbagai atraksi pariwisata telah digalakkan untuk mengembangkan suatu daerah untuk menjadi daerah tujuan pariwisata. Kegiatan-kegiatan olah raga yang bersifat rekreatif maupun kompetitif, peragaan busana tradisional, dan pameran kerajinan tangan, termasuk didalamnya pertunjukan budaya dari dari kelomok-kelompok etnik di luar Sumatra Utara, misalnya Minangkabau dan Aceh, serta pertunjukan musik popular Indonesia yang mayoritas diisi oleh artis-artis ibukota, juga merupakan bagian dari seni pertunjukan yang ditampilkan.
            Usaha untuk mempromosikan upacara-upacara maupun ritual-ritual yang berkaitan dengan kepercayaan asli Batak sebagai bagian dari atraksi pariwisata dalam dua dekade terakhir ini mulai memprihatinkan. Akan tetapi, upacara-upacara yang ditampilkan tidak utuh. Misalnya, di Museum Huta Bolon, sejak tahun 1980-an ditampilkan pertunjukan singkat dalam satu paket pertunjukan pariwisata yang menampilkan satu cuplikan bagian penyembelihan hewan korban kerbau yang diiringi dengan musik dan tari yang diambil dari rangkaian ritual Mangalahat Horbo (mengorbankan kerbau). Akan tetapi Mangalahat Horbo Lae-lae atau Gondang Mandudu yang dilakukan didesa Limbong di pulau Samosir kali ini adalah usaha yang pertama dalam menampilkan satu rangkaian religious tradisional Batak Toba yang utuh sebagai bagian dari atraksi pariwisata.
            Mangalahat Horbo Lae-Lae dan Gondang Madudu : Latar Belakang Kesejarahannya
            Pada era pra-Kristen, aktivitas ritual maupun upacara yang terdapat pada masyarakat Batak Toba selalu terkait dengan kepercayaan asli mereka (Okazaki, 1994). Walaupun sejak tahun 1860-an sebagian orang Batak telah menganut agama Kristen, banyak dari warga Kristen Batak yang tetap melaksanakan ritual-ritual yang masih terkait erat dengan kepercayaan tradisional mereka. Khusus di pulau Samosir, terdapat beberapa ritual dan upacara tua yang masih terus dilaksanakan. Tetapi, Pihak gereja menyebabkan banyak unsur dan makna tradisional dari upacara-upacara itu disederhanakan dan dihilangkan.
            Manglahat Horbo Lae-Lae adalah upacara penyembelihan binatang yang sangat erat hubungannya dengan kepercayaan asli Batak Danau Toba. Upacara ini adalah upacara penyembelihan kerbau untuk persembahan kepada roh-roh gaib yang dilakukan oleh komunitas kelompok dalam satu kampung, atau satu kelompok keluarga tertentu, biasanya dilaksanakan dalam beberapa hari.
            Hal yang pertama sekali dilakukan dalam aktivitas upacara pada penyembelihan kerbau ini adalah Mangelek Namartua Pusuk Buhit, yang artinya meminta izin ataupun restu dari supernatural yang tinggi, Mula Jadi Nabolon (asal mula yang agung), dan roh-roh gaib yang bermukim di sekitar puncak pusuk buhit. Orang Batak Toba meyakini bahwa Pusuk Buhit adalah tempat kelahiran dari nenek-moyang mereka yang pertama. Banyak diantara mereka menganggap bahwa Pusuk Buhit adalah tempat berdiamnya Sombaon (roh-roh yang menguasai tempat tertentu).
            Setelah kerbau dibunuh, masyarakat yang hadir kembali kerumah masing-masing meninggalkan kerbau yang dikorbankan dibawah penjagaan sekelompok orang yang bertugas sepanjang malam. Masyarakat Batak Toba percaya bahwa roh-roh gaib yang mereka panggil akan menikmati kerbau itu sepanjang malam, sebelum kerbau itu dibagikan kepada seluruh masyarakat.
            Pariwisata Etnik : Manglahat Horbo Lae-Lae dalam konteks pariwisata
            Pelaksanaan upacara Manglahat Horbo Lae-Lae untuk atraksi pariwisata, dengan hadirnya beberapa turis sebagai penonton dan perwakilan pemerintah sebagai bagian dari tuan rumah, telah mengalami beberapa perubahan, terutama dalam struktur upacara, makna, serta kebiasaan-kebiasaan lain dari upacara konteks tradisi.
            Peranan Mediator : Elaborasi Mitos
            Upacara pengorbanan kerbau untuk atraksi turis ini di sponsori oleh PT (Perseroan Terbatas) Pahuta Danau Toba. PT Pahuta Danau Toba merupakan sebuah yayasan yang terdiri dari orang-orang Batak yang menduduki jabatan pemerintah yang cukup penting di Sumatra Utara. PT Pahuta Danau Toba ini bertujuan untuk mengelola potensi daerah yang meliputi Danau Toba dan sekitarnya, untuk dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata yang representatif. Fokus utama dari kegiatan ini adalah menggali, melestarikan, dan mengembangkan seni dan budaya tradisional Batak Toba.
            Perubahan Struktur dan Jalannya Upacara
            Dalam menampilkan upacara Manglahat Horbo Lae-Lae ini, mayarakat Batak Toba yang terlibat telah mengubah upacara tersebut menjadi semacam pertunjukan teateral. Yang menjadi atraksi utamanya adalah masyarakat Limbong yang sedang melaksanakan upacara tradisional mereka. Ini adalah salah satu dari pariwisata etnik. Masyarakat local setempat menjadi bagian penting dalam acara yang bersifat eksotis dan otentik. Karakteristik teaterial ini terutama terlihat pada acara Gondang Mandudu di malam hari dan upacara penyembelihan kerbau, yang kerap dihadiri turis maupun perwakilan pemerintah. Ada pemisah yang jelas antara penonton (turis dalam maupun luar negeri) dan pemerintah, pendukung upacara/para pemain, dan penduduk desa Limbong yang terlibat dalam upacaranya.
            Selama persiapan dan penentuan waktu pertunjukan, kelihatan ada konflik dalam kelompok orang-orang yang terlibat. Menurut sebuah sumber dari PT Pahut, pada mulanya, rencana pertunjukan itu ditolak oleh otoritas gereja di wilayah Limbong. PT Pahuta terpaksa bernegosiasi berulang kali dengan pihak gereja dan masyarakat desa dan masyarakat desa di sana. Dengan menekankan ide pentingnya mempromosikan daerah tujuan wisata dan mempertunjukan kebudayaan Batak, upacara tersebut akhirnya diizinkan untuk dilaksanakan.
            Berhubungan upacara ini dilaksanakan di desa Limbong, terkait juga maksud unttuk mendapatkan berkat bagi wilayah desa dan sekitarnya. Didalam proses pelaksanaan upacara, ada beberapa bagian yang berubah dengan asumsi bahwa bagian tersebut kurang menarik bagi pengunjung. Sebagai contoh, dalam bagian ritual Gondang Mandudu. Berbagai repertoar music yang seharusnya dilaksanakan di dalam gelap direncanakan untuk tidak dipertunjukan tanpa penerangan. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan konteks makna yang seharusnya dilasanakan. Akibatnya, timbul perdebatan antara panitia pertunjukan dengan orang-orang desa mengenai cara menampilkan bagian ini. Akhirnya diputuskan bahwa ritual tersebut tetap dilaksanakan dalam gelap, dengan catatan bahwa durasi waktu ritual dipersingkat demi kenyamanan para pengunjung atau penonton.
            Perubahan lainnya berkaitan dengan sekuens pertunjukan. Bagian dari acara Monortor Hasuhutan (monortor/menari yang dilakukan oleh tuan rumah) yang seharusnya dilakukan setelah Gondang Mandudu, diganti dengan acara pertunjukan Opera Batak yang merupakan bentuk dari pertunjukan teater keliling yang terdapat pada masyarakat Batak Toba. Hal ini sejalan dengan yang ditawarkan dalam proposal panitia kepada pemerintah.
            Perubahan juga terjadi pada acara klimaks, yaitu penyembelihan/pengorbanan kerbau. Pamantom (penombak) semestinya membunuh kerbau persembahan tersebut. Dalam konteks tradisionalnya, bahkan kerbau di tombak sampai mati dengan kejam (Sinaga, 1981). Akan tetapi, Pemantom tidak lagi menombak si kerbau sampai mati, melainkan hanya menombaknya tiga kali. Si Pemantom kelihatannya lebih memfokuskan pada tariannya ketika melakukan penombakan. Ini tampaknya dilakukan untuk menghindari ciri orang Batak yang kasar dan bahkan kanibal seperti yang digambarkan orang (Sibeth, 1990).
            Identitas Etnis, Kultural, dan Religius Orang Batak di dalam Konteks Kebudayaan Indonesia.
            Sepanjang upacara, orang Batak Toba menampilkan identitas etnis dan budaya Batak sebagai satu kesatuan dalam konteks keaneka ragaman etnik budaya dan masyarakat Indonesia. Konsep ini tergambar dari doa-doa dan penjelasan-penjelasan yang disampaikan oleh pembawa acara sepanjang jalannya upacara. Di dalam doa-doa dan pembicaraannya, dia mengulang beberapa kali maksud upacara untuk menampilkan budaya dari etnik Batak sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
             Secara tidak langsung pembawa acara telah mengindikasikan bahwa orang Batak Toba yang terlibat dalam upacara, berkeinginan untuk menyatukan kembali subetnik-etnik di bawah identitas etnik Batak. Mereka juga menekankan ide untuk mengetengahkan identitas budaya Batak Toba kedalam konteks identitas kompleks masyarakat Indonesia. Dari sini dapat dilihat bahwa orang Batak Toba berkeinginan untuk menyatukan subetnik dengan berlandaskan bhineka tunggal ika.

ANALISIS :
           
Pariwisata, telah membantu menghadirkan kembali kebudayaan tradisional Batak Toba, khususnya dalam konteks upacara Manglahat Horbo Lae-Lae yang dilaksanakan di desa Limbong Samosir, Sumatra Utara. Sebelum adanya pertunjukan ini,  masyarakat Batak Toba telah dilarang (khususnya oleh misionaris Kristen) untuk mengadakan berbagai upacara, terlebih yang terkait erat dengan kepercayaan tradisional mereka. Pertunjukan budaya  ini memberikan alternative bagi usaha melihat kembali potensi budaya lokal Batak Toba.
Berbagai pendapat dari pihak pemerintah, pihak gereja, maupun masyarakat Batak Toba dalam memandang kembali berbagai konsep budaya yag ada, kadang-kadang justru menghadirkan hal-hal yang tidak dijumpai atau bertentangan dengan kebiasaan upacara, sekaligus mengurangi esensi religius yang ada.
Adanya perbedaan kepentingan antara pemerintah dengan masyarakat Batak Toba, hal itu mempengaruhi sikap dan penilaian terhadap upacara yang akan disajikan. Pemerintah berkepentingan untuk menstimulasi kegiatan dari upacara tradisional, tidak hanya untuk kepentingan pariwisata, tetapi juga sebagai upaya melestarikan dan mengembangkan budaya yang merupakan salah satu asset budaya nasional bangsa Indonesia. Sedangkan masyarakat Batak Toba sendiri adalah usaha untuk menghadirkan identitas budaya mereka sebagai salah satu ragam dari kebudayaan nasional Indonesia. Usaha tersebut merupakan salah satu program pelestarian dan pengembangan kebudayaan yang memang telah digariskan dalam kebijaksanaan pemerintah Indonesia.
 Semakin kompleksnya kebudayaan suatu daerah, semakin berkembang pula budaya itu. Di tengah-tengah situasi seperti ini, tradisi dan hubungan antar etnis akan terus mengalami proses perubahan. Budaya mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat.  Kaidah sebagai bagian kebudayaan mencakup tujuan kebudayaan, maupun cara-cara yang dianggap baik untuk mencapai tujuan tersebut. Kaidah-kaidah kebudayaan tersebut mencakup peraturan-peraturan yang beraneka ragam. Akan tetapi, untuk kepentingan masyarakat, secara sosiologis dapat dibatasi dengan empat hal, yaitu:
1.      Kaidah-kaidah yang dipergunakan secara luas dalam suatu kelompok manusia tertentu;
2.      Kekuasaan yang memperlakukan kaidah-kaidah tersebut;
3.      Unsur-unsur formal kaidah itu;
4.      Hubungannya dengan ketentuan-ketentuan hidup lainnya (Soerjono, 2010).
Di dalam pengalaman manusia, kebudayaan itu bersifat universal, stabil di samping juga dinamis dan setiap kebudayaan mengalami perubahan-perubahan yang berkelanjutan. Kebudayaan mengisi serta menentukan jalannya kehidupan manusia, walaupun hal itu jarang disadari oleh manusia itu sendiri.